Imam Al-Bukhari Membolehkan Ikhtilath, Benarkah?
Ada sebagian orang yang membolehkan ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram) berdalih dengan hadits shahih . Di antaranya:
“Abdullah bin Yusuf bercerita kepada kami, “Malik menceritakan kepada kami, dari Nafi’ dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa dia berkata: “Sesungguhnya dulu pada zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, laki-laki dan perempuan berwudhu’ secara bersama-sama.” (HR. Al-Bukhari)
Bagaimana kalian -wahai orang-orang yang mengaku ahlus sunnah- melarang manusia untuk ikhtilath? Sedangkan Al-Imam Al-Bukhari sendiri meriwayatkan hadits yang membolehkan hal tersebut?!
Untuk menanggapi ‘syubhat’ ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Perlunya mempelajari dasar-dasar ajaran islam yang benar secara global, sehingga ketika syubhat menyerang, seorang muslim tidak terlalu panik menghadapinya. Kembalikan saja kepada kaidah umum yang telah dipelajari dan diketahui walau tidak memahami penjelasannya secara terperinci. Dalam hal ini, penulis sangat menyarankan para pembaca untuk mengulang kembali faidah yang tertuang dalam kitab “Kasyfu Asy-Syubuhat” karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Al-Hanbali rahimahullaah
2. Pentingnya mengkaitkan antara hadits dengan judul bab di mana hadits itu diletakkan oleh penyusunnya.
Tidak mengambil teks hadits itu kemudian dialihbahasakan begitu saja, terlebih lagi digunakan sebagai dalih untuk menghalalkan sesuatu yang telah disepakati keharamannya. Seperti hadits tersebut di atas jika dikaitkan dengan judul bab tempat hadits itu diletakkan oleh penyusunnya, maka sirnalah kerancuan atau syubhat yang dimaksud. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits ini di dalam kitab tentang Wudhu’ bab “Bolehnya seorang laki-laki berwudhu’ bersama istrinya” (4/43, 193). Ulama kita menjelaskan bahwa fiqh atau madzhab Al-Imam Al-Bukhari dapat dilihat dari judul bab (yang ia buat). Dengan demikian terlihatlah dengan jelas bahwa Al-Imam Al-Bukhari sama sekali tidak mendukung bolehnya ikhtilath. Lalu apa hubungannya antara hadits dengan judul bab? Mengapa Al-Imam Al-Bukhari bisa mengambil kesimpulan dengan membuat judul yang lebih khusus cakupannya berdalil dengan hadits yang bersifat umum?
Dalam bab yang sama terdapat banyak hadits yang senada dengan berbagai macam jalur periwayatannya. Al-Imam Al-Bukhari dikenal sebagai orang yang sangat selektif dan super ketat dalam menentukan sebuah hadits itu shahih. Di sisi yang lain beliau dituntut untuk menyusun sebuah kitab yang ringkas tetapi menyeluruh yang berisi hadits-hadits yang shahih saja. Karena dua faktor inilah maka mungkin -wallaahu a’lam- beliau hanya menurunkan satu hadits saja dalam bab tersebut, yaitu hadits mauquf (hadits Ibnu ‘Umar) yang berstatus marfu‘. Bahkan hadits ini merupakan hadits yang paling shahih dalam bab ini. Di samping jalur periwayatannya dikenal sebagai ‘silsilah adz dzahab’ (jalur emas) -yaitu dari Malik dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar-, juga yang meriwayatkannya adalah Al-Bukhari (atau bisa disebut juga sebagai “jalur emas” yang paling shahih).
Di antara sekian banyak riwayat, ada sebuah riwayat yang menegaskan bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma melihat mereka (para sahabat) bersama istri-istri mereka berwudhu’ bersama-sama dalam satu bejana yang sama. Riwayat ini shahih diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya. Lalu mari sejenak kita berfikir, mungkinkah seluruh para sahabat bersama istri mereka berwudhu’ secara bersama-sama dalam satu bejana (إناء) yang dikenal kala itu berukuran relatif kecil? Ataukah maksud Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma adalah masing-masing sahabat bersama istrinya berwudhu’ bersama-sama, kemudian sahabat yang lain berwudhu’ bersama istrinya, lalu sahabat yang lain lagi dan seterusnya? Tentu yang terakhir disebutkan lebih logis dan lebih mendekati kebenaran. Inilah yang dipilih oleh Al-Imam Al-Bukhari yang sekaligus menunjukkan kejelian dan kecerdasan Al-Imam Al-Bukhari dalam beristidlal dan menempatkan hadits-hadits shahih yang sesuai dengan syarat-syaratnya pada judul bab (tarjamah) yang merupakan cerminan fiqh dan madzhab beliau dalam suatu masalah tertentu.
3. Urgennya belajar bahasa arab.
Alif lam pada kata-kata الرجال dan النساء dalam hadits tersebut bukan alif lam Al-Istighraqiyyah (menunjukkan keumuman). Tetapi alif lam Al-Jinsiyyah (menunjukkan jenis). Sebagai contoh misalnya:
فلان يلبس الثياب
Si Fulan memakai baju.
الثياب bentuk jama’ dari الثوب . Maksud dari pernyataan di atas bukan berarti si Fulan memakai semua baju. Tetapi yang dimaksud adalah keterangan jenis objek (maf’ul)nya. Si Fulan memakai baju, bukan sandal.
Untuk lebih jelasnya lagi, perhatikan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits:
لكنى أصلى وأنام وأصوم وأفطر وأتزوج النساء
“Akan tetapi aku shalat dan juga tidur, aku berpuasa dan juga berbuka, dan aku menikahi wanita.”
Apakah النساء yang dimaksudkan Nabi tersebut adalah “bilangannya”, atau yang dimaksudkan beliau adalah menerangkan “jenis objeknya”? Tentu yang dimaksudkan adalah jenis objeknya.
Kemudian lagi kata-kata جميعا (bersama-sama) merupakan hal (menerangkan keadaan) bukan sebagai ta’kid (penguat). Karena jika lah memang maksudnya ta’kid, maka Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma tentunya menyebutkan أجمعون (semuanya) bukan جميعا.
Perbedaannya sangat jelas, جميعا menjelaskan fa’il pada fi’il يتوضئون. Sedangkan أجمعون menjelaskan/menguatkan isim كان . Dengan begitu menjadi jelaslah bahwa yang dimaksud Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma adalah perbuatan wudhu’ itu dilakukan secara bersama-sama antara laki-laki dengan istrinya atau mahramnya, bukan seluruh sahabat baik laki-laki maupun perempuan bercampur baur berwudhu’ bersama-sama dalam satu bejana yang sama pula.
4. Sekaligus sebagai kesimpulan,
hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma tersebut di atas sama sekali tidak bisa dijadikan dalil untuk menghalalkan ikhtilath. Bahkan banyak hadits shahih yang menyatakan terlarangnya ikhtilath. Di antaranya:
Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian masuk ke tempat para wanita!” Seorang pria dari kaum Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana hukumnya kalau dia adalah saudara ipar?” Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saudara ipar sama dengan kematian” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Walhamdulillaah, wa shallallaahu ‘ala nabiyyinaa Muhammad.
Selesai ditulis oleh Al-Faqiir ila rahmati rabbih: Abu Yazid Nurdin, sore menjelang maghrib 20 Sya’ban 1431 H di Riyadh, KSA.
Maraaji’:
1. Fathul Baari, Al-Haafizh Ibnu Hajar, Daarul Hadits, Kairo: 1424 H.
2. ‘Umdatul Qaari, Badruddin Al-‘Aini Al-Hanafi, Al-Maktabah Asy-Syaamilah.
3. Kaset ceramah berjudul “Nashaaih wa Taujiihaat li Asy-Syabaab”, Syaikh DR. ‘Abdul Karim Al- Khudhair.
Penulis: Abu Yazid TM Nurdin
Artikel www.muslim.or.id
🔍 Ad Dukhan Adalah, Tanda Tanda Kerasukan Jin, Ucapan Amin, Allah Tidak Akan Memberikan Suatu Cobaan Di Luar Batas Kemampuan Manusia
Artikel asli: https://muslim.or.id/4309-al-imam-al-bukhari-membolehkan-ikhtilath-benarkah.html